Pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak.
Kedua, meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tidak
meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan
terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan taqarrub
kepada-Nya.
Ketiga, tidak
meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali, seperti melarangnya dari
usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya,
dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas.
Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah murid
dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan
sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela
ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya, seperti guru bahasa biasanya mencela
ilmu fiqh, guru fiqh biasanya mencela ilmu hadits dan tatsir, dengan
mengatakan bahwa ilmu itu hanya kutipan dan periwayatan semata-mata, dan
guru teologi biasanya mencela fiqh seraya mengatakan bahwa fiqh adalah
cabang yang hanya berbicara tentang haid wanita tetapi tidak pernah
berbicara tentang sifat Allah.
Keenam, membatasi sesuai
kemampuan pemahaman murid; tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak
bisa dijangkau oleh kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau
memberatkan akalnya, karena meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam Hendaknya menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui
bahwa kemampuan pemahamannya terbatas.
Ketujuh, murid yang
terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas
dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu
ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan
ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut,
membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu
terhadap dirinya; sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak
menerima ilmu yang mendalam.
Kedelapan, hendaknya guru
melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya,
karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui
dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak.
Pertama, belas kasih kepada murid dan memperlakukannya sebagai anak.
Kedua, meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan taqarrub kepada-Nya.
Ketiga, tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali, seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas.
Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah murid dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya, seperti guru bahasa biasanya mencela ilmu fiqh, guru fiqh biasanya mencela ilmu hadits dan tatsir, dengan mengatakan bahwa ilmu itu hanya kutipan dan periwayatan semata-mata, dan guru teologi biasanya mencela fiqh seraya mengatakan bahwa fiqh adalah cabang yang hanya berbicara tentang haid wanita tetapi tidak pernah berbicara tentang sifat Allah.
Keenam, membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid; tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan akalnya, karena meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Hendaknya menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui bahwa kemampuan pemahamannya terbatas.
Ketujuh, murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya; sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam.
Kedelapan, hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak.
Kedua, meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tidak meminta upah mengajar, tidak bertujuan mencari imbalan ataupun ucapan terima kasih, tetapi mengajar semata-mata karena Allah dan taqarrub kepada-Nya.
Ketiga, tidak meninggalkan nasehat kepada murid sama sekali, seperti melarangnya dari usaha untuk beralih kepada suatu tingkatan sebelum berhak menerimanya, dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai ilmu yang jelas.
Keempat, ini termasuk pelik-pelik tugas mengajar, yaitu mencegah murid dari akhlaq tercela, dengan cara tidak langsung dan terang-terangan sedapat mungkin, dan dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
Kelima, guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya, seperti guru bahasa biasanya mencela ilmu fiqh, guru fiqh biasanya mencela ilmu hadits dan tatsir, dengan mengatakan bahwa ilmu itu hanya kutipan dan periwayatan semata-mata, dan guru teologi biasanya mencela fiqh seraya mengatakan bahwa fiqh adalah cabang yang hanya berbicara tentang haid wanita tetapi tidak pernah berbicara tentang sifat Allah.
Keenam, membatasi sesuai kemampuan pemahaman murid; tidak menyampaikan kepadanya apa yang tidak bisa dijangkau oleh kemampuan akalnya agar tidak membuatnya enggan atau memberatkan akalnya, karena meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Hendaknya menyampaikan hal yang sebenarnya apabila diketahui bahwa kemampuan pemahamannya terbatas.
Ketujuh, murid yang terbatas kemampuannya sebaiknya disampaikan kepadanya hal-hal yang jelas dan cocok dengannya, dan tidak disebutkan kepadanya bahwa di balik itu ada pendalaman yang tidak bisa disampaikan kepadanya, karena tindakan ini akan mengurangi minatnya terhadap hal-hal yang jelas tersebut, membuat hatinya guncang, dan mengesankan kebakhilan penyampaian ilmu terhadap dirinya; sebab setiap orang meyakini bahwa dirinya layak menerima ilmu yang mendalam.
Kedelapan, hendaknya guru melaksanakan ilmunya; yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya, karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar